Sekolah di Bali Ajarkan Coding dan AI dengan Sistem Ramah Anak

Teknologi6 Views

Di sebuah kelas di SMP Sapta Andika, Denpasar, Bali tampak suasana yang berbeda dari pelajaran biasa. Anak-anak tampak serius menatap layar komputer, sambil mengetik kode dan berdiskusi mengenai kecerdasan buatan (AI). Ini bukan sekadar kelas komputer biasa — sekolah tersebut telah mengadopsi konsep pembelajaran berbasis teknologi yang tidak hanya menitikberatkan aspek teknis, tetapi juga berusaha menjadikan proses belajar aman dan ramah untuk siswa.

Pembelajaran coding dan AI di Bali ini tidak hanya bertujuan agar siswa melek teknologi, melainkan agar mereka bisa menggunakan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab. Di tengah dunia yang makin dipengaruhi algoritma dan digitalisasi, kemampuan semacam ini menjadi keterampilan penting. Di balik layar, sekolah mengembangkan sistem agar teknologi pendidikan juga berfungsi sebagai alat mitigasi terhadap bullying digital maupun penyalahgunaan informasi.

Salah satu nilai yang ditekankan adalah bahwa teknologi tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kemanusiaan. Dalam setiap kelas coding dan materi AI, siswa diajak memahami bahwa algoritma bukan semata-mata soal angka atau logika, tetapi dampaknya terhadap kehidupan nyata—termasuk aspek etis, privasi, dan bagaimana teknologi bisa memengaruhi interaksi sosial. Dengan demikian, pembelajaran bukan sekadar penguasaan alat, tetapi juga penumbuhan kesadaran moral.

Sekolah seperti SMP Sapta Andika menjadi pelopor transformasi pendidikan di Bali. Dengan mengintegrasikan kurikulum digital, mereka membuka ruang bagi siswa mengeksplorasi kreativitas melalui proyek-proyek berbasis teknologi. Alih-alih sekadar teori, siswa merancang aplikasi kecil, memecahkan permasalahan lokal lewat digitalisasi, dan mencoba prototipe yang relevan dengan lingkungan sekitar mereka. Ini menjadi jembatan antara dunia akademik dan tantangan nyata masa depan.

Meski teknologi membawa kemudahan, tantangan juga tidak sedikit. Salah satu hambatan terbesar adalah memastikan semua siswa memiliki akses perangkat dan koneksi internet yang memadai. Tidak semua siswa di Bali tinggal di area perkotaan—beberapa datang dari wilayah pesisir atau pegunungan, di mana infrastruktur digital bisa terbatas. Sekolah pun harus memikirkan solusi agar tidak ada siswa yang tertinggal karena keterbatasan sarana.

Selain itu, pendidik juga perlu dilatih agar tidak hanya mahir memakai teknologi, tetapi juga memahami cara mengajar yang sesuai dengan karakter anak. Penggunaan tool digital memerlukan pendekatan berbeda dibanding metode tradisional: guru harus menjadi fasilitator, bukan hanya pemberi materi. Keterampilan seperti debugging, berpikir algoritmik, dan kolaborasi digital harus dikemas dalam aktivitas yang menyenangkan dan tidak menakutkan siswa awam.

Ke depan, implementasi pembelajaran teknologi ramah anak seperti yang dijalankan di Bali ini bisa menjadi model bagi sekolah-sekolah lain di Indonesia. Dengan sinergi antara sekolah, pemerintah, komunitas teknologi, dan orang tua, ada peluang besar untuk mendorong agar generasi muda tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pencipta yang bertanggung jawab.

Pada akhirnya, apa yang terjadi di SMP Sapta Andika bukan sekadar inovasi lokal—melainkan sebuah wacana pendidikan masa depan. Di dunia yang terus berubah cepat, kesiapan generasi mendatang tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak informasi mereka tahu, melainkan bagaimana mereka menghadapi, memahami, dan mengelola teknologi dengan hati.

Sumber: Detik